iklan digital untuk fasilitas gratis berkelanjutan

Pada tahun 1895, King Gillette (beneran ini nama orang, bukan raja ataupun ledekan) mendaftarkan paten atas sebuah alat yang (menurutnya) revolusioner. Itu adalah pisau tipis yang disisipkan pada batang yang diapit dua lempengan tipis.
Diharapkannya alat ini dapat menggantikan pisau cukur besar yang saat itu digunakan orang-orang mencukur jenggot (kini kita masih sering melihatnya di tukang cukur tradisional). Namun Gillette kesulitan menjual produknya karena pisau cukur tradisional masih mendominasi dan Gillette tidak bisa memasang harga lebih rendah karena biaya produksi alatnya lebih tinggi. Akhirnya pria yang juga penulis buku ekonomi ini menempuh cara pemasaran yang revolusioner. Dia membagikan gratis ‘tangkai pisau cukur’ miliknya dan hanya menjual pisau tipis untuk dipasangkan ke tangkai tersebut. Hasilnya? Seperti yang kita tahu, pisau cukur Gillette ini jadi merek internasional yang bahkan diserap sebagai ‘nama barang’ kalau kita ingin membeli pisau cukur semacam itu – meski yang kita beli bukan bermerek Gillette. Chris Anderson pada tahun 2010 menyebut konsep ini sebagai Giving something for nothing – Memberikan sesuatu secara gratis untuk mendapatkan keuntungan!
 Riwayat Singkat Iklan Digital
Iklan digital pertama via wired
Banner iklan digital pertama ditayangkan oleh wired.com pada browser Netscape persis seperti di atas. Meskipun hanya berukuran 468 x 60, percayalah, pada tahun 1994 saat iklan itu pertama kali ditayangkan, mengunduh banner tersebut akan memakan waktu hingga berjam-jam!
Pada tahun 1996, internet yang berkembang pesat memungkinkan pelacakan berapa kali klik sebuah banner iklan dengan layanan yang disebut D.A.R.T (Dynamic Advertising Reporting & Targeting). Dengan sistem ini, pengiklan dapat memantau berapa kali iklannya diklik untuk melihat informasi selengkapnya, dan dengan demikian dia dapat menentukan harga yang dibayar pada penayang iklan. Pada saat itu, sebagian besar iklan ditayangkan dengan tujuan agar orang yang mengklik iklan membaca informasi selengkapnya, lalu tertarik membeli produk bersangkutan.
Google bukanlah yang pertama menawarkan skema iklan digital. Akan tetapi mereka adalah perusahaan yang paling sukses dalam melakukannya. Ini berkat berbagai terobosan yang mereka lakukan seputar mesin pencari dan skema beriklan di dalamnya yang memungkinkan adanya hubungan timbal balik antara pengiklan, content creator yang menyediakan aneka konten di internet (web artikel, video, gambar, dokumen gratis, serta informasi media sosial) serta penikmat konten secara seimbang.
Pengiklan ingin agar iklannya dilihat untuk meningkatkan peluang produknya dibeli.
Content Creator memerlukan biaya untuk menyiapkan dan menjalankan kontennya.
Penikmat konten ingin mendapatkan informasi dengan biaya seminimal mungkin.
Secara jitu, Google kemudian mengembangkan sebuah hubungan saling terikat dan timbal balik antar ketiga elemen tersebut. Google menerima uang dari pengiklan untuk mengiklankan produk atau jasa yang dimilikinya, kemudian Google memasangkan iklan pada slot yang telah disiapkan content creator – Dengan adanya sebuah software yang dapat membaca dan memperhitungkan perilaku pengguna, biasanya dari statistik website apa saja yang biasa dikunjungi oleh pengguna internet, maka Google dapat menampilkan iklan yang seolah relevan bagi pengguna internet yang sedang membaca konten. Contoh nyatanya, kamu suka mengakses situs ponsel, maka kamu kemungkinan besar akan mendapatkan iklan seputar ponsel. Sesederhana itu! Nah, pengguna yang melihat atau mengeklik iklan inilah yang kemudian dijadikan ‘bahan laporan’ bagi Google kepada pengiklan yang tadi memasang iklan untuk menyatakan bahwa iklan mereka berhasil dilihat dan diklik – Ini menentukan jumlah upah yang diterima Google dari pengiklan.
Pada tahun 2006 ke atas, iklan digital semakin menjadi hyper-targeted, dalam artian berhasil ditargetkan secara tepat! Ini karena Facebook menciptakan semacam ‘revolusi media sosial’. Dengan mengumpulkan data asli pengguna (syarat utama Facebook), maka Facebook dengan mudah memantau perilaku pengguna di dalam Facebook (bahkan juga di luar Facebook) memanfaatkan potongan kode yang disebut pixel (bahkan sebagai pelengkap, Facebook mencegah crawler Google untuk ‘masuk ke dunia mereka’ – Menjadikan mereka penguasa tunggal di dunianya sendiri). Menargetkan iklan kepada konsumen secara akurat kemudian menjadi fenomena baru bagi para pengiklan yang ingin produk dan jasanya laris. Seperti kamu lihat, sistem ini mengantarkan Mark Zuckerberg sebagai orang terkaya nomor lima di dunia tahun 2016!

Freenomics?

Bersamaan dengan iklan digital, berkembang konsep Freenomics alias ekonomi gratisan yang mendunia. Dengan menayangkan iklan, Google memberikan berbagai layanan gratis layaknya King Gillette membagikan tangkai pisau cukurnya kepada masyarakat di dunia. Android, Google docs, spreadsheets, gmail, dan banyak lagi menjadi fenomena dunia! Pembuat aplikasi di smartphone kita juga bergairah untuk mendapatkan ‘kue’ dari bisnis iklan ini dengan cara menciptakan aplikasi gratisan beriklan atau populer disebut freemium. Pola penggunaannya beragam dan bermacam-macam sesuai kreativitas penyedia jasa tersebut. User diberikan kebebasan memanfaatkan semua itu dengan ‘bayaran’ sederhana: Lihatlah iklan kami!
Namun skema ini ternyata tidak sepenuhnya berjalan mulus karena perilaku paradoks yang diperlihatkan oleh pengguna layanan internet. Keberadaan iklan mulai dicaci maki oleh pengguna yang mungkin meyakini konsep sosialisme bahwa barang-barang yang memenuhi kebutuhan dasar adalah milik publik dan hendaknya dapat digunakan publik seluas-luasnya dengan tanpa biaya. Kita dapat menemukan di mana-mana pengguna menyalakan ad-blocker secara masif di seluruh website seakan bakal miskin jika ada satu iklan yang lolos, kemudian mengakali ponsel Androidnya agar dapat memblokir seluruh iklan baik dari website maupun aplikasi yang digunakan – masih mending karena kita sering melihat komentar penuh caci maki di App Store (OS manapun) kalau sebuah aplikasi dianggap kebanyakan iklan, atau juga website tertentu dimaki-maki sebagai ‘website jamban’ dan  ‘antek Google’ karena menayangkan iklan.
Ini kemudian menjadikan Google mulai meninjau ulang layanan yang diberikannya, dan akhirnya hadir dengan solusi bahwa: Google juga menyediakan layanan berbayar kepada pihak yang ‘bersedia membayar’. Dengan rilis perangkat premium Google, Pixel, nampak bahwa Google berupaya menapaki juga jalur bisnis konvensional dengan menarik pembayaran dari end-user secara langsung. Ironis sekali memang betapa perusahaan yang mempelopori freenomics secara masif justru akhirnya mendapatkan kesulitan dari produk gratisannya.

Pengaruh Iklan Digital bagi ‘Informasi Gratis’ di Internet

Dari gambaran di atas, kita dapat melihat pengaruh iklan digital bagi ‘informasi gratis’ di Internet. Dari ekosistem yang dirintis oleh Google tersebut, content creator, termasuk Winpoin, mendapatkan dana pemeliharaan website serta dapat mensejahterakan para penulisnya (atau videografernya jika content creatornya berfokus di Youtube atau layanan video lain) dengan cara mengikuti skema timbal balik antara pengiklan – content creator – pengguna, sebagaimana saya bahas di atas.
Meskipun kamu tidak melihatnya, banyak content creator yang akan menitikkan air mata haru jika kamu bersedia membuka ad-blocker saat mengunjungi kontennya. Ini adalah bentuk dukungan kamu terhadap konten yang ditayangkan!
Pendapat saya pribadi, mungkin sangat masuk akal jika kamu seorang siswa dengan kuota internet terbatas, tidak mendapatkan akses ke WiFi publik dan tidak punya langganan internet rumahan, lalu menyalakan ad-blocker sepanjang waktu agar bisa bertahan dan mendapatkan manfaat besar demi pendidikan. Tapi jika kamu hidup berkecukupan, mengakses internet dari WiFi rumahan atau publik sambil nongkrong di Starbucks – dan tetap menyalakan adblock… Oh, Come on!

Terakhir, saya menghimbau kepada para content creator lain untuk tabah menghadapi bullying dari audience yang terkadang kejam. Jangan takut kamu akan dibilang portal jamban, antek Google, website sampah dan sebagainya hanya karena memasang iklan – yang bisa jadi merupakan sandaran kamu untuk menghidupi konten tersebut. Dalam skema freenomics, gratisan total atau menjanjikan gratisan total (mungkin dengan konten bebas iklan) bukanlah jawaban jika kamu memang ingin melayani audience. Stephen Covey, seorang penulis dan ahli manajemen pernah menyampaikan perumpamaan: jika kamu memiliki seekor angsa yang bertelur emas, maka ada dua alternatif bagi kamu untuk mendapatkan telur emas tersebut. Kamu bisa menyembelih angsa itu untuk kemudian mengeluarkan semua telurnya, tapi kamu tidak akan memiliki angsa itu lagi – atau – kamu bisa menjual telur emas tersebut untuk kamu belikan makanan dan vitamin bagi si angsa agar dia dapat bertelur terus menerus semakin banyak!

sumber : https://winpoin.com/riwayat-iklan-digital-dan-pengaruhnya/